Antraks Ancaman Nyata bagi Manusia

Fathiya Khairiya
6 min readApr 26, 2021

“Dalam rangka World Veterinary Day, berikut ini saya tuliskan pengingat bahwa Zoonosis ada di sekitar kita, sehingga dibutuhkan tindakan preventif dan penanganan zoonosis yang lebih baik lagi ke depannya. Happy World Veterinary Day 2021”

“World Veterinary Day”

Indonesia sebagai salah satu negara yang dilintasi garis ekuatorial memiliki tipe iklim tropis sehingga konsekuensinya adalah pergiliran dua musim di kawasan Indonesia. Musim kemarau dan musin hujan di Indonesia mengakibatkan bahwa kawasan ini memiliki kelembaban relatif yang cukup tinggi (>70%). Hal tersebut merupakan keuntungan karena menjadi salah satu pendukung kawasan Indonesia untuk memiliki produktivitas ternak yang baik (Nuriyasa, 2017).

Potensi pengembangan ternak juga berbanding lurus dengan bahaya penyakit yang dapat menyerang hewan ternak dan berpotensi menular ke manusia. Jenis penyakit yang ditularkan hewan kepada manusia disebut dengan zoonosis. Zoonosis umumnya disebabkan oleh patogen seperti virus, bakteri, jamur dan parasit (Adrian, 2021). Dewasa ini, zoonosis cukup berbahaya dan menjadi ancaman untuk hewan ternak dan para peternak, salah satunya penyakit antraks. Antraks disebabkan oleh Bacillus anthracis yang merupakan bakteri Gram positif (+) dan memiliki spora yang mampu bertahan di tanah selama berpuluh-puluh tahun. Spora ini amat berbahaya jika masuk ke dalam tubuh hewan ternak maupun manusia (Litbangkes, 2019).

Terdapat beberapa tipe penularan antraks ke manusia antara lain: antraks cutaneous, antraks paru, dan antraks usus. Antraks cutaneous merupakan antraks dengan penularan pada kulit dengan ciri adanya pustula maligna atau lesi yang khas dan dalam waktu sekitar 6 hari akan berubah menjadi jaringan parut hitam (black central eschar). Antraks jenis ini merupakan tipe paling umum dan dapat disertai rasa sakit jika adanya infeksi sekunder pada kulit penderita. Selanjutnya antraks paru yang ditularkan melalui inhalasi atau melalui spora antraks yang terhirup dan berpotensi menyebabkan gangguan pernafasan akut. Antraks usus (gastrointestinal) yang menyerang saluran pencernaan dan berpotensi menyebabkan pembengkakan kelenjar limfe (limfadenopati), tercatat sekitar 25–60 % penderita antraks usus meninggal dunia (Litbangkes, 2019).

Antraks dikategorikan ke dalam occupational hazard atau bahaya pekerjaan, sebab potensi penularan antraks dapat terjadi karena kontak antara peternak dengan hewan ternak serta kegiatan pekerjaan seperti pengolahan bulu, tulang, dan kulit hewan ternak (Clarasinta dan Tri, 2017). Kasus antraks di Indonesia semakin marak terjadi baik pada hewan ternak maupun peternak karena komunitas agrikultural merupakan sektor utama mata pencaharian di Indonesia dan antraks mampu menginfeksi manusia melalui kulit, inhalasi atau ingesti yang menjadi jalan masuknya Bacillus anthracis ke tubuh manusia. Kini antraks juga menjadi penyakit endemis pada hewan ternak di 14 provinsi di Indonesia.

Ancaman antraks semakin nyata sehingga dibutuhkan tindakan pencegahan serta penanganan antraks baik pada tingkat hewan ternak maupun pada manusia. Beberapa tindakan pencegahan sebagai berikut:

  1. Dimulai dengan vaksinasi hewan-hewan ternak. Tujuan dari vaksinasi adalah pemberian antigen untuk merangsang sistem kekebalan hewan ternak sehingga menghasilkan antibodi khusus terhadap penyakit antraks (Roth, 2011). Vaksinasi pada ternak di Indonesia umumnya menggunakan tipe vaksin spora hidup atau dikenal dengan live spore vaccine. Tipe vaksin ini mengandung B. anthracis galur 34F2 (toksikogenik dan non-kapsul). Namun beberapa penelitian mengemukakan bahwa galur bibit vaksin tersebut mampu mempertahankan virulensinya pada ternak seperti kambing dan domba sehingga menghasilkan efek shock anaphylactic karena masih dapat memproduksi toksin. Hal tersebut menjadi tantangan peneliti kedepannya untuk memperkecil efek samping dari vaksin antraks. Karena diketahui masih tingginya efek samping vaksin antraks pada hewan ternak, sehingga vaksinasi disarankan hanya dilakukan pada daerah-daerah endemis namun dipastikan diberikan secara menyeluruh (WHO, 2008).
  2. Vaksinasi manusia khususnya peternak atau dokter hewan yang memiliki frekuensi paling sering kontak dengan hewan ternak. Kini, penggunaan vaksin antraks pada manusia masih beresiko tinggi. Dilaporkan vaksinasi pada manusia di Cina menggunakan live spore vaccine dari B. anthracis galur A16R. Di Amerika Serikat, diformulasikan anthrax vaccine absorbed (AVA) yang dibuat dari filtrat kultur B. anthracis galur V770 yang diaplikasikan secara subkutan (CDC, 2020). Meskipun sudah ditemukan beberapa opsi vaksin antraks namun masih adanya potensi vaksin tersebut memiliki elemen seluler yang menyebabkan reaksi sistemik pada tubuh. Dewasa kini, peneliti juga mulai merambah ke vaksin subunit dan vaksin rekombinan. Vaksin subunit adalah vaksin inaktif yang hanya mengandung PA (protective antigen) untuk meminimalisasi kontaminasi toksin lain yang dihasilkan B. anthracis. Sedangkan vaksin rekombinan merupakan hasil manipulasi genetik dari mikroorganisme tertentu yang mampu membawa gen dari B. anthracis. Beberapa kandidat mikroorganisme seperti B. subtilis dan Salmonella thyphimurium masih terus diteliti untuk bisa membawa PA (protective antigen) dari B. anthracis (WHO, 2008).
  3. Pengawasan ketat terhadap keluar masuknya hewan ternak terkhusus dari dan ke dalam daerah endemis antraks. Hal ini diperlukan untuk monitoring hewan ternak di kawasan endemis untuk mencegah potensi menyebarnya penyakit antraks ke luar kawasan.
  4. Peningkatan sosialisasi mengenai penyakit antraks guna meningkatkan kesadaran khususnya pada peternak atau petani yang sering kontak dengan hewan ternak. Sosialisasi dapat berupa pencerdasan mengenai gejala (symptoms) antraks dan praktik tindakan preventif hingga penanganan antraks.

Penanganan kasus antraks juga harus menjadi perhatian baik antraks yang hanya menginfeksi hewan ternak maupun yang sudah terlanjur menular ke manusia. Beberapa tindakan penanganan yang harus dilakukan adalah:

  1. Mengasingkan ternak yang sakit atau terduga sakit dengan menunjukkan gejala seperti hewan ternak sulit bernapas, demam tinggi, berjalan sempoyongan, mudah ambruk. Pengasingan ini bertujuan untuk mengisolasi hewan ternak untuk menghentikan penyebaran antar hewan.
  2. Pengobatan pada ternak yang terjangkit seperti sapi atau ruminansia besar. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik dengan spektrum luas contohnya pemberian streptomycin dan penicillin pada ruminansia besar (sapi, kerbau) (WHO, 2008).
  3. Pada manusia penderita antraks cutaneus dapat diberikan intramuskular procaine penicillin dengan dosis 500–600 mg setiap 12–24 jam selama seminggu. Namun jika manusia terinfeksi jenis antraks inhalasi atau antraks gastrointestinal maka kemungkinan harus diberikan ciproflaxacin (Cipro), vibramycin, levofloxacin, atau kombinasi dari beberapa jenis antibiotik tersebut (WHO, 2008).
  4. Pada hewan ternak terduga terinfeksi antraks yang sudah terlanjur mengalami kematian mendadak, maka manusia dilarang untuk menyembelih hewan tersebut. Pemusnahan bangkai hewan yang terduga mati karena antraks harus dilakukan dengan cara pembakaran hingga hangus atau penguburan bangkai dengan kedalaman minimal 2 meter kemudian ditutup oleh tanah dan diberi desinfektan. Selain itu, kawasan tersebut harus diberi penanda bahwa pernah terjadi kasus antraks dan hindari adanya hewan di sekitar area tersebut untuk menghentikan penyebaran melalui hewan lain (Litbangkes, 2019).
  5. Dibutuhkan teknik diagnosis yang lebih cepat dan akurat di kawasan endemis untuk mengurangi tingkat kematian hewan ternak akibat antraks. Selain itu, harus dilakukan investigasi lapangan secara rutin dan pemantauan di kawasan endemis dengan menggunakan prediksi waktu kemunculan spora. Kasus antraks seringkali muncul pada awal musim hujan (curah hujan tinggi) saat fase rumput sedang tumbuh dan adanya kontak antara spora yang berada di tanah dengan hewan ternak. Prediksi waktu ini dapat bermanfaat untuk pengambilan sampel tanah pada kawasan endemis untuk dilakukan diagnosis dini sehingga dapat dipetakan prediksi tingkat infeksius atau potensi antraks pada kawasan endemis. Hal tersebut berguna untuk merumuskan kebijakan-kebijakan lanjutan misalnya penutupan atau penghentian lalu lintas ternak ke luar kawasan endemis jika diperlukan.

Antraks merupakan satu dari sekian banyak zoonosis yang menjadi ancaman nyata bagi manusia. Diperlukan edukasi khusus pada masyarakat khususnya peternak yang memiliki intensitas tinggi kontak dengan hewan ternak secara langsung. Zoonosis bisa saja menjadi endemis di suatu daerah namun zoonosis juga berpotensi menginfeksi pada daerah dengan cakupan lebih luas seperti nasional. Masyarakat harus lebih meningkatkan kewaspadaan dini mengenai zoonosis mulai dari memperhatikan kebersihan makanan dan lingkungan serta mengedepankan perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu, Indonesia memerlukan Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (Early Warning Alert and Response) yang lebih baik di tingkat daerah hingga pusat, baik untuk pemantauan pergerakan penyakit menular hingga pemberian tanda peringatan jika terjadi peningkatan kasus. Diharapkan kedepannya pemerintah dan masyarakat Indonesia lebih siap dan tanggap menghadapi zoonosis yang menular, salah satunya penyakit antraks yang telah menjadi endemis di 14 dari 34 provinsi di Indonesia.

Referensi :

Adrian, dr. Kevin. (2021). Memahami Zoonosis. Diakses 6 April 2021, dari https://www.alodokter.com/memahami-zoonosis-penyakit-yang-menular-dari-hewan-ke-manusia.

Center for Disease Control and Prevention. (2020). Anthrax: Vaccine. Diakses 6 April 2021, dari https://www.cdc.gov/anthrax/prevention/vaccine/index.html.

Clarasinta, Claudia dan Tri Umiana Soleha. (2017). Penyakit Antraks. Majority, 7(1), 158–163.

Litbangkes. (2019). Apa Itu Antraks. Diakses 6 April 2021, dari https://litbangkesbanjarnegara.litbang.kemkes.go.id/2019/04/25/apa-itu-antraks/

Nuriyasa, I Made. (2017). “Lingkungan dan Produktivitas Ternak”. Diakses 6 April 2021, dari https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/05ffa19603418096397546654a050d0c.pdf

Roth, James A. (2011). Veterinary Vaccines and Their Importance to Animal Health and Public Health. Procedia in Vaccinology, 5, 127–136.

World Health Organization. (2008). Anthrax in Humans and Animals 4th Edition. Geneva: World Health Organization.

--

--